Kronologis Perjalanan Observasi Lingkungan Hidup dan Seni Budaya pada Jalur Pendakian Desa Tassoso, Kec. Sinjai Barat, Kab. Sinjai – Desa Lengkese, Kec.Tinggi Moncong, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan
(Kiri : M. Syahrul Fadhil / Kanan : Mifta Farid)
Hari Pertama: Jumat, 19 Desember 2014
Pelepasan team “Observasi Lingkungan Hidup dan Seni Budaya” pada pukul 11.35 WITA oleh Ayahanda Wakil Dekan III FSD UNM di pelataran parkir kampus UNM Parangtambung. Pada sambutannya, Ayahanda berpesan kepada tim agar tetap menjaga nama baik almamater dimana pun kami berada. Setelah seremonial yang sederhana itu, Ayahanda Wakil Dekan III memberi kami uang jalan yang lumayan membantu keuangan tim kami yang hanya beranggotakan dua orang.
Setelah Shalat Jum’at, kami melakukan final check di Realist Art House. Yakin tak ada lagi yang kurang, kami pun berjalan kaki ke depan gerbang kampus. Pada saat kami berjalan tentunya semua mata tertuju kepada kami, mungkin dalam benak mereka terpikir hendak kemana gerangan.Membawa carrier yang besar lengkap dengan sepatu medannya.Kami hanya tersenyum ketika ada yang memanggil kami. Sekitar 15 menit menunggu di depan gerbang, akhirnya mobil yang akan kami tumpangi ke Desa Tassoso pun datang. Seorang lelaki paruh baya memakai songko haji duduk disamping supir.“Wahh..ada Pak Haji” kata Mifta. Setelah memasukkan barang bawaan, kami foto bersama sekali lagi bersama teman-teman yang mengantar kami sampai depan gerbang.
Pukul 14.47 tim OLH-SB pun berangkat. Alunan musik dangdut dan lagu daerah dengan suara yang besar menemani perjalanan kami.Pak Haji hanya mendengarkan musik tanpa ekspresi. Kami singgah di depan terminal Malengkeri untuk membeli beberapa ransum yang masih kurang, Sekitar 10 menit singgah, kami melanjutkan perjalanan. Kami bertiga duduk di kursi tengah mobil. Tak lupa kami ber-selfie ria untuk mengabadikan moment yang tak akan pernah terulang ini. Pukul 16.08 WITA, Aco berhenti di warung dekat jembatan (
40’12’’ BT |
15’06’’ LS) untuk beristirahat sejenak.Sekitar 15 menit kami beristirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan.Kembali alunan musik dangdut dan lagu khas Bugis-Makassar menjadi teman perjalanan kami.Tak terasa pukul 17.02 WITA kami sudah ada Malino (
51’11’’ BT |
15’09’’ LS) menandakan kami sudah sekitar setengah perjalan ke Tassoso.




Hari sudah mulai gelap, kami memasuki perbatasan Gowa-Sinjai sekitar pukul 17.58 WITA. Sekitar lima menit kemudian kami sampai di Polsek Sinjai Barat (
59’57’’ BT |
12’27’’ LS) untuk mengantarkan surat pemberitahuan kami. Tampak Pak Kapolsek sedang duduk santai ditemani para bawahannya.Mereka juga berpesan agar hati-hati dalam perjalanan dan berkabar apabila sudah pulang nanti.Pak Kapolsek juga merekomendasikan kami untuk bermalam di rumah Kepala Dusun.Kami sempat mengajak beliau foto bersama namun beliau menolak dengan alasan tidak sedang mengenakan seragam.


Pukul 18.16 kami melanjutkan kembali perjalanan. Aco mengantar Pak Haji yang duduk di depan ke rumahnya. Hawa dingin mulai terasa, kabut semakin tebal.Sambil memperhatikan GPS yang menandakan kami sudah dekat dengan Desa Tassoso.Kami bertanya kepada beberapa warga yang kami temui di perjalanan.Warga memberitahu kalau ciri-ciri rumahnya itu berwarna kuning dan ada mobil truknya.
Hujan mulai turun, hawa dingin semakin terasa.Pukul 19.43 WITA akhirnya kami sampai juga di rumah Kepala Dusun Tassoso (
58’31’’ BT |
17’06’’ LS).Setelah membayar mobil, kami pun masuk setelah dipersilahkan.Kami memberikan surat pemberitahuan kami yang telah kami persiapkan sebelumnya. Cukup lama bercerita dengan Pak Dusun, akhirnya beliau memperbolehkan kami bermalam di rumahnya dan mempersilahkan kami beristirahat di kamar tamu.Setelah beres-beres, kami segera memasak teh dan makan malam.Setelah kami semua kenyang, kami beristirahat untuk mempersiapkan perjalanan keesokan harinya.


Hari Kedua: Sabtu, 20 Desember 2014
Suara merdu orang mengaji, samar-samar terdengar ada tiga suara berbeda, dua orang sepertinya adalah anak kecil yang baru belajar.Seorang lagi suara wanita yang mengajarinya.Kami terbangun mendengar suara yang menyejukkan hati tersebut.Penasaran, Callu mengintip, ternyata benar ada seorang wanita yang mengajar mengaji dua orang anak kecil.Callu hanya tersenyum lalu berbisik kepada Mifta dan Kak Adam (pendamping) yang masih di tempat tidur.Lalu kami cuci muka.Callu melihat jam, waktu menunjukkan pukul 05.58 WITA.
Kami bertiga menuju dapur, hawa dingin sangat terasa pagi itu.Tampak Pak Dusun sedang menonton TV bersama Istri dan tetangga-tetangganya.Kami duduk di dekat perapian, menghangat diri dari dinginnya hawa pagi itu. Callu memasak air, Mifta mengambil susu coklat. Kami duduk sambil mengisap rokok masing-masing dan meminum susu yang masih hangat. Nikmatnya pagi ini.Cukup lama bercerita, Callu kembali menyalakan kompor untuk membuat lauk sarapan pagi itu.Mie instan yang sudah ditiriskan dicampur dengan dua butir telur.Tampak Mifta protes, mungkin sudah kelaparan.“Sabaaarr, Liat tommi sebentar iya. Saya Chef pagi ini nah”, kata Callu. Minyak sudah panas, Callu memasukkan adonan tadi ke wajan.Sambil diratakan, ditaburkan bawang goreng diatasnya.Akhirnya hidangan selesai.Martelaso namanya (martabak telur Tassoso).Kami menyantapnya dengan lahap.Setelah kenyang, kami mandi bergantian dan packing untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah semua sudah siap, kami keluar untuk resection, sebelum berangkat kami sempat berfoto-foto dengan “sang guru mengaji” karena Pak Dusun sedang ke kebunnya.Ya, gadis itu anak Pak Dusun. Risma Namanya. Pukul 08.15 WITA, setelah berdoa kami pun berjalan.
Kami mulai memasuki hutan, trek sangat menanjak beberapa warga yang bertani sempat menyapa kami dan berpesan agar berhati-hati.Kami terus mengikuti string line pada jalur.Hingga akhirnya kami sampai di tempat yang tampaknya bukan jalur.Tetapi asih ada string line.Sepertinya ini jalur sapi.Kami pun memanjati jalur yang rapat dengan ilalang itu hingga kami tembus lagi ke jalur umum.Kami melewati genangan air yang memang masih sedikit sampahnya.Mungkin karena masih sedikit orang yang melewati jalur ini.Kami kembali kebingungan karena mengikuti string line yang mengarahkan kami ke tempat yang penuh dengan pohon tumbang dan rapat yang ilalang yang sangat tinggi.Seperti sarang ular besar yang biasa terlihat di televisi.
Kami kembali dan mengikuti aliran air sebelumnya tidak lama kemudian pukul 09.14 WITA kami akhirnya sampai di Pos 2 (
58’09’’ BT |
17’27’’ LS).Pos ini berada di pinggir sungai.Kami pun mengisi air di container dan sekitar 10 menit beristirahat dan berfoto-foto kami kembali mmelanjutkan perjalanan.Sepertinya kami sudah memasuki hutan yang rapat.Pacet mulai banyak menempel di sepatu kami. Jalanan yang becek dan menanjak tampaknya akan menemani kami hingga ke Puncak Bawakaraeng. Tak terasa kami sudah sampai di Pos 3 (
58’03’’ BT |
17’27’’ LS).




Waktu menunjukkan pukul 09.33 WITA.Candaan selama perjalanan lumayan menutupi lelah karena trek semakin menanjak. Tak ada “bonus” landai panjang yang kami dapati. Trek hanya mendaki mendaki. Mungkin memang dari namanya, Jalur Tassoso, Tassoso dalam bahasa setempat berarti menurun.Ya memang menurun, tetapi kalau dari atas.Kalau dari bawah berarti yang ada menanjak terus.Sekitar setengah jam berjalan, waktu menunjukkan pukul 09.52 WITA kami sudah sampai di pos 4 (
57’51’’ BT |
17’28’’ LS).Sekitar sepuluh menit kami beristirahat, tampak langit mulai gelap.Trek yang dilalui masih sama. Penuh dengan pacet, medan yang menanjak dan licin. Bertambah lagi pohon tumbang menutupi jalur mengharuskan kami harus merayap melewatinya.Kira-kira ada hampir empat kali kami mendapati pohon tumbang di jalur yang kami lalui.


Setengah jam kami berjalan, pukul 10.27 WITA kami sampai di Pos 5 (
57’39’’ BT |
17’34’’ LS). Kami beristirahat sekitar lima menit, tapi awan semakin gelap mengharuskan kami harus bergerak cepat. Beberapa saat berjalan, Callu memutar lagu di handphonenya, berharap dapat sedikit memberi semangat pada perjalanan kami. Hujan rintik mulai turun, tapi fisik yang sudah lelah tidak bisa membuat perjalanan akan cepat, pohon tumbang juga masih ada di jalur pendakian. Mengharuskan kami untuk merayap lagi. Pendamping tim, Kak Adam terus memberi semangat untuk berjalan. Callu tampaknya sudah sangat lelah, beberapa langkah berjalan, Ia berhenti lagi, berjalan lagi, berhenti lagi.


Beberapa lama berjalan dengan trek yang menanjak kami sampai di Pos 6 (
57’20’’ BT |
17’46’’ LS), Pos ini berada ditempat yang menanjak.Mungkin saking tidak adanya lagi tempat landau untuk menentukan pos, maka pos 6 ini berada ditempat yang menanjak.Lima menit beristirahat, 11.12 WITA kami kembali melanjutkan perjalanan.Lagi-lagi diperjalanan pohon tumbang sangat banyak.Dan ini membuat perjalanan kami menjadi lambat. Tak ada jalan landai sama sekali di perjalanan ke Pos 7 ini, semuanya menanjak. Hujan yang keras membuat jalanan menjadi sangat licin, pacet mulai menyerang.Darah yang diakibatkannya membuat celana yang kami kenakan menjadi kotor karena darah. Sekitar satu jam berjalan, kami melihat ada tempat landai diatas sana. Sepertinya itu pos 7.Dan akhirnya benar itu adalah Pos 7 (
57’10’’ BT |
18’02’’ LS).




Hujan sedikit reda. Kami cukup lama beristirahat di pos 7, rokok pun kami bakar. Asap yang dikeluarkan begitu banyak, bercampur dengan kabut yang mulai turun. Rokok habis, kami kembali berjalan.Hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras. Callu yang berjalan paling belakang membuat perjalanan tim menjadi lambat. Jalan beberapa langkah, dan beristirahat kembali. Mungkin Ia memang sudah sangat lelah. Tetapi hujan sangat deras membuat kami tidak mungkin berteduh.Sampai pada akhirnhya, Callu yang ditunggu-tunggu tidak datang juga, akhirnya Mifta dan Kak Adam kembali dan mendapati Callu sedang duduk dan mengatur nafasnya.Akhirnya Kak Adam memutuskan untuk mencari tempat untuk beristirahat sejenak.Pohon besar yang tumbang menjadi pilihan beristirahat untuk berteduh dari guyuran hujan yang keras. Kak Adam mengambil wafer yang ada di carrier, memberikan kepada Callu berharap semoga tenaganya bisa kembali pulih. Kami bertiga menyantap wafer itu dengan lahap di tempat Istirahat yang sederhana itu (
57’03’’ BT |
18’13’’ LS).


Setelah hujan sedikit reda akhirnya kami melanjutkan kembali perrjalanan.Callu menjadi leader sekarang.Tampaknya, dia hanya lelah karena lapar. Dan seketika itu pula Ia menjadi sangat bersemangat. Lagu di handphonenya lumayan memberi semangat.Sekitar 15 menit berjalan, akhirnya kami sampai di Pos 8 (
56’59’’ BT |
18’27’’ LS).Ada bekas tungku pembakaran, menandakan tempat ini biasa diapakai untuk camp.Kabut semakin tebal dan hawa dingin semakin menusuk tulang karena pakaian kami yang basah.Setelah menghabiskan rokok sebatang, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 9 atau Camp pertama.Jalur semakin menanjak dan rapat.Sekitar satu jam perjalanan dengan trek yang makin menanjak, akhirnya kami sampai di pertigaan jalur Bawakaraeng-Lembanna dan Bawakaraeng-Tasssoso. Kami bertemu dengan Berlin (AMU-VI-MM) bersama dengan Pangrango Mahorpala FIK UNM.Lima menit bercerita, akhirnya kami langsung menuju ke Pos 9 untuk mendirikan camp.


Kami pun sampai di Pos 9 (
56’46’’ BT |
18’42’’ LS)Tampak sudah ada tiga tenda yang berdiri. Kami pun memilih tempat camp yang berada dibagian atas. Callu dan Kak Adam mendirikan tenda dan Mifta mengambil air.Setelah camp berdiri, kami mengganti pakaian kami dan memasak air untuk membuat teh hangat.Rokok yang kami bakar pun menjadi sangat nikmat.Lalu nasi yang sudah kami persiapkan dari Tassoso langsung diolah menjadi nasi goreng. Telur dadar menemani nasi goring itu, harum aroma telur dan nasi itu membuat seorang yang camp di bawah kami keluar dan mengintip. Tampaknya Ia juga lapar. Kami pun menyantap hidangan istimewa ini dengan lahap. Lalu kami bercerita lepas setelah meminum air yang segar dan tembakau gulung. Lelah bercerita, kami pun beristirahat dan tidur.


Hari Ketiga: Minggu, 21 Desember 2014
![]() |
PUNCAK |


Di puncak kami berfoto dan membuat kopi.Suasana di puncak saat itu sedang berkabut, namun sesekali muncul matahari.Kami juga bertemu dengan pendaki dari UIN, kami berfoto bersama dan saling bertukar cerita.Puas berfoto, kami pun kembali ke camp untuk melanjutkan perjalanan.Sesampainya di camp, kami langsung packing dan bersiap untuk berangkat.Pukul 11.34 WITA, setelah berdoa kami kembali berjalan. Trek menuju pos 8 Bawakaraeng ini sangat licin, beberapa kali Mifta jatuh terpeleset.
Jalur yang menurun membuat kaki kami harus ekstra hati-hati menapakkan kaki agar tidak terpeleset.Tak terasa pukul 12.00 WITA kami sampai di pos 8 (
56’36’’ BT |
18’30’’ LS).Disini kami hanya singgah untuk mengisi air dan langsung melanjutkan perjalanan ke pos 7.Hujan mulai turun dengan deras. Awalnya trek yang kami lalui hanya penurunan, tetapi lama kelamaan jalur kembali menanjak. Hujan sangat deras.Sesekali kami berpapasan dengan pendaki yang hendak ke puncak Bawakaraeng.Hawa dingin semakin menusuk ke tulang saat kami memasuki daerah bekas kebakaran.Kerasnya suara Guntur membuat bulu kuduk merinding.Akhirnya kami sampai di Pos 7 (
56’13’’ BT |
17’52’’ LS). Karena hujan masih sangat keras, kami berteduh beratapkan spanduk observasi kami sambil memakan wafer untuk mengganjal perut yang lapar karena dingin. Hujan agak mereda, kami pun melanjutkan perjalanan.Jalur yang kami lalui ini adalah jalur bekas kebakaran, tetapi untuk saja masih ada string line untuk memandu kami melalui jalur ini.Jalur sangat curam, licin dan menurun.Perlu tumpuan yang baik agar tidak keseleo.




Vegetasi yang rapat membuat carrier yang kami kenakan beberapa kali tersangkut.Tampak Lembah Ramma terlihat dari kejauhan.Di jalur ini tampak pemandangan yang sangat menakjubkan.Di tempat ini terlihat dua buah air terjun yang terpisah dan bersambung menjadi satu.Callu yang memegang GPS menamakan tempat melihat air terjun itu “Tebing Waterfall” (
55’33’’ BT |
17’38’’ LS).Waktu sudah menunjukkan pukul 15.31 WITA.Kami harus berjalan lebih cepat agar sampai sebelum gelap.Ramma sudah terlihat dibawah, kami melewati pinggiran jurang. Jika jatuh, mustahil akan hidup. Tinggi jurang ini sekitar 300 meter.Pukul 15.59 kami kembali beristirahat untuk merokok dan meregangkan otot yang kencang.Karena ditempat ini persediaan air sudah menipis, Callu menamakan tempat kami beristirahat ini Jurang Akadah (
55’21’’ BT |
17’33’’ LS).




Setelah cukup lama beristirahat, kami kembali berjalan.Melihat Ramma yang sudah ada dibawah membuat kami makin semangat untuk berjalan.Tetapi kami juga berjalan dengan ekstra hati-hati karena melewati pinggiran jurang. Akhirnya kami pun sampai di Tallung (
54’33’’ BT |
17’37’’ LS) pada pukul 17.31 WITA. Jalur yang berbatu dan menurun membuat lutut menjadi goyang dan kuku kaki ada yang terlepas.Mifta berjalan sangat lambat, mungkin Ia sudah sangat ingin beristirahat. Hari sudah semakin gelap, Kak Adam sudah menunggu, tak lama kemudian Callu datang, berselang Mifta sekitar 10 menit setelahnya. Akhirnya kami sepakat untuk Camp di tempat ini (
54’53’’ BT |
17’46’’ LS) karena hari sudah gelap.




Kami segera mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam.Menu makanan kami malam ini adalah sarden.Dengan lahap kami menyantap semua makanan yang disiapkan mala mini. Setelah makan, kami duduk dan saling berbagi cerita sambil minum air yang segar dan menghisap tembakau dibawah terangnya langit malam itu. Callu menciptakan puisi tentang perjalanan kami yang sangat mendebarkan.Kami bergantian bertukar cerita tentang cinta, topik yang selalu hangat dimana pun itu.Suara tawa kami sangat keras malam itu. Tapi jarak tenda lain yang jauh membuat kami tidak terlalu memperdulikannya. Lelah bercerita, akhirnya kami masuk ke tenda dan bersiap untuk tidur agar bisa melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Hari Keempat: Senin, 22 Desember 2014
Waktu menunjukkan pukul 07.06 WITA, hari yang cerah pagi ini.Kami kaget ketika melihat keluar tenda ternyata makanan kami yang disimpan diluar digigiti oleh sapi.Pagi itu kami berfoto-foto, menyiapkan sarapan.Menu kami pagi itu adalah sarden dan kornet sapi.Sangat bergizi untuk perjalanan terkahir ini.Setelah sarapan, kami mandi di aliran sungai kecil. Airnya sangat segar. Kami mandi seolah-olah baru melihat air setelah beberapa minggu tidak pernah melihatnya, kami sempat mengabadikan momen-momen itu dengan foto dan video.Setelah cukup lama bermain air.Kami menggganti pakaian dengan pakaian jalan kami.
Tata Mandong (seorang pria paruh baya yang memang mendedikasikan dirinya untuk menjaga kelestarian lingkungan di daerah Lembah Ramma) datang kepada kami.Kami pun memberikannya rokok, kami bertanya tentang jalur untuk ke Panaikang melewati aliran sungai.Tata menjelaskan bahwa jalur ke Panaikang hanya lewat atas (Tallung) dan tidak ada jalur jika menyusuri sungai.Tetapi kami tetap pada tugas kami, yakni membuka jalur ke Panaikang lewat aliran sungai.Setelah packing, kami berdoa bersama dan memberikan ransum yang masih ada kepada Tata Mandong.
Pukul 10.03 WITA, kami berangkat. Kami melewati jalur ke danau tempat Milad ke V tahun 2013 lalu. Masih sama dengan hari sebelumnya, jalur yang kami lewati kali ini menurun. Rasa pegal di paha masih terasa.Apalagi pada saat menurun, membuat langkah kami menjadi sedikit lambat.Terlihat dari jauh, pohon yang kami tanam setahun lalu di samping danau sudah ada yang tumbuh, tapi ada juga yang dimakan sapi. Sebelum menyusuri sungai, kami sempat berfoto bersama dan membakar rokok karena medan sudah lumayan landai. Kami menyusuri pinggiran sungai yang berbatu.Batu ini merupakan sisa dari bekas terjadinya longsor pada 2004 lalu.Sekitar pukul 12.12 WITA kami istirahat di tepi sungai (
53’58’’ BT |
18’19’’ LS), view di tempat ini sangatlah indah karena air jernih yang mengalir diselah bebatuan dan banyaknya air terjun kecil. Kami memasak air dan membuat susu coklat hangat. Kami juga mengambil foto bergantian.


Setelah merasa cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan.Kami mendapati sungai besar.Arusnya sangat deras.Beberapa kali kami mondar-mandir untuk mencari jalan ke seberang, tetapi arus sungai terlalu deras. Hujan mulai turun, ketakutan akan datangnya air bah tiba-tiba membuat kami menjadi gelisah. Akhirnya kami menyebrang menggunakan webbing.Mifta menyebrang duluan tanpa menggunakan carrier.Lalu Callu menyusul membawa dua buah carrier.Kemudian Kak Adam terakhir.Kami kembali berjalan, hujan semakin keras.Jalan yang kami lalui memang landai.Tetapi batu-batu yang banyak beserta pasir yang masuk ke dalam sepatu membuat jalan begitu lambat.Tampak dari kejauhan, bukit yang mungkin disebelahnya adalah pemukiman.
Halusinasi mulai melanda kami, batu besar yang ada disaping sungai, sempat terlihat seperti rumah.Tak ada sampah sedikit pun yang kami lalui, menandakan tidak ada orang yang pernah melewati jalur ini. Sekitar satu jam kami berjalan, bukit yang kami kira disebelahnya adalah pemukiman ternyata tidak ada. Callu yang berjalan paling depan hanya tersenyum kecut melihat apa yang ada di depannya. Tebing, sungai dengan arus yang sangat deras.Saking derasnya, batu sebesar bola basket pun dengan mudah dibawanya. Ya, jalan ini buntu (
53’22’’ BT |
17’50’’ LS), benar apa kata Tata Mandong, tidak ada jalan ke Panaikang lewat sungai. Yang ada hanya patahan.Kami pun kembali.Dengan kecewa, kami berjalan lesu.Kak Adam yang masih terlihat tegar berusaha mencari jalan untuk dinaiki. Namun nihil, tak ada jalur sama sekali.


Waktu menunjukkan pukul 15.11 WITA.Sudah tak ada ransum, semua sudah diberikan ke Tata sewaktu di Ramma. Mifta sempat terpikir untuk camp ditempat itu, perasaan capek, kecewa, putus asa dan marah bercampur menjadi satu. Callu yang tadinya berjalan paling depan, sekarang berada jauh dibelakang. Semangat kami sudah hilang.Ya, kami memang hilang.Lambat berjalan,Callu duduk disebuah batu.Yang teringat langsung hanyalah Tuhan.“Tolong kami Tuhan” kata Callu dalam hati.Callu sedikit mengingat materi survival yang didapatkan pada saat Diklatsar. Don’t Panic!!.Ya benar, kami tidak boleh panik dan perhatikan alam sekitar.Callu melihat ada tanjakan longsor yang tampaknya bisa dipanjati.
Callu memanggil Mifta dan Kak Adam yang berjalan cukup jauh di depan. Mereka pun kembali.Callu berkata, “Kak, bisa kayaknya dimanjati itu sana”, sambil menunjuk kearah longsor yang diatasnya ada pohon.”Daripada jalan ki kembali ke Ramma kak, jauhnya itu.Malam pki pasti baru sampai, tidak ada mi juga ransum.Coba mi saja dulu kak.Pasti ada jalur itu diatas” tambah Callu. “Bisaji memang kayaknya” , jawab Kak Adam. Akhirnya kami berjalan menuju longsoran itu. Kak Adam memanjatinya duluan, diikuti Mifta, Callu memilih tempat manjat yang lain. Dengan menggunakan carrier yang berat dan basah karena hujan, kami memanjati longsor itu, setiap batu yang kami pegang lepas karena licin.Siku, lutut bahkan dagu kami pakai untuk memanjat.Sambil melangkahkan kaki satu demi satu, Callu hanya bisa berkata dalam hati “tunjukkan kami jalan yang benar Tuhan.Kami tidak mau jatuh dan mati disini”.Semangat untuk bertahan hidup menjadi modal kami memanjati longsoran itu.
Akhirnya Kak Adam berhasil sampai duluan. “Woii ada jalur anak-anak, semangatko !” , teriak Kak Adam. Callu yang sudah sangat dekatsepertinya sudah tidak sanggup, tapi Ia kembali memotivasi dirinya. “Kak, Webbing ta dulu”, teriak Callu.Mifta pun demikian. Kak Adam, mintaka webbing ta kak”. Kak Adam lebih memilih memberikan webbing kepada Mifta yang mengikuti jalur panjatnya. Callu yang sudah sangat dekat hanya bisa mencengkram tanah yang Ia panjati karena kemiringannya sepertinya sudah hampir 80 derajat. Akhirnya Callu juga berhasil sampai diatas.Tak lama kemudian, Mifta yang ditarik menggunakan webbing juga sudah sampai.Kami semua bersyukur dan tidak membayangkan kekuatan darimana yang datang kepada kami sehingga bisa memanjati longsor.
Kami pun mengikuti jalan setapak yang ada.Sepertinya ini adalah kebun warga.Kami menemukan jalan yang bisa dilalui motor.Kami tidak tahu sekarang berada di daerah mana.Cukup lama kami berjalan, kami melihat bungkus permen relaxa, pertanda di dekat sini mengkin ada warung.Dan berarti ada perkampungan.Tak lama, kami melihat sapi yang diikat pertanda ini hewan ternak warga, dan akhirnya kami melihat jalan yang dibeton.Mungkin Tuhan memang masih sayang kepada kami.Setelah melihat rumah, kami lalu mendatangi rumah tersebut (
53’15’’ BT |
18’10’’ LS) dan akhirnya kami diberitahu bahwa daerah itu bernama Lengkese.Kami mengeceknya di peta. Dan target kami sebelumnya, Panaikang, ternyata memang masih jauh. Kami diberi kopi hangat oleh Rudi,sang pemilik rumah. Kami pun bercerita kenapa kami bisa sampai disitu.Lalu Mifta mencari tahu dimana ada warung untuk membeli makanan.Ternyata disamping warung itu adalah Pos Pengamatan Longsor Gunung Bawakaraeng, dan tempat itu biasa ditempati nginap oleh Mahasiswa-mahasiswa yang datang.Kami sepakat untuk pergi ke rumah samping Posko Pengamatan itu.


Setelah berpamitan dengan Rudi, kami pun berjalan.Jaraknya tidak jauh, hanya beberapa puluh meter saja dari rumah Rudi.Kami pun diberi sarung oleh Ibu pemilik rumah itu, kami segera mengganti pakaian kami yang masih basah karena hujan dan lumpur.Setelah ganti pakaian, kami masuk ke rumah itu (
53’13’’ BT |
18’09’’ LS).Waktu menunjukkan pukul 16.51 WITA, Mie instan yang kami pesan akhirnya datang.Kami menyantapnya dengan lahap. Kami kembali bercerita tentang perjalanan kami kepada sang tuan rumah.


Kami bertanya tentang mobil ke Makassar, katanya kalau mobil biasanya ada tapi masih harus jalan sekitar satu jam lagi. Tetapi sang tuan rumah menyarankan kami untuk bermalam saja di rumahnya, dan besok pagi baru pulang ke Makassar. Tak mau terulang lagi dengan tidak mendengar perkataan orang tua seperti perkataan Tata yang mengakatan tidak ada jalur lewat sungai, akhirnya kami sepakat untuk bermalam dan baru pulang ke Makassar keesokan harinya.Setelah itu kami naik ke atas gedung pengamatan disamping, melihat jalur yang tadi dilewati.Sepertinya memang tidak ada jalur. Kami pun berfoto-foto seolah olah tak ada kejadian apapun yang menimpa kami. Hari mulai gelap, kami diberikan santap malam yang sederhana oleh Ibu tuan rumah. Sehabis makan, kami pun tidur lelap karena sangat capek dan lelah setelah berjalan seharian.
Hari Kelima: Selasa, 23 Desember 2014
Waktu menunjukkan pukul 06.12 WITA, Callu sudah terbangun.Mifta dan Kak Adam masih tertidur lelap, Callu mengambil kamera dan naik ke gedung pengamatan untuk berfoto-foto. Sekitar lima belas menit diatas, Callu kembali ke rumah dan membangunkan Mifta dan Kak Adam, kami pun langsung packing dan mandi bergantian. Tak lama kemudian, mobil yang akan kami tumpangi ke Makassar sudah datang. Kami pun berpamitan ke Bapak dan Ibu yang kami tempati bermalam rumahnya.Di perjalanan, ternyata handphone Callu tertinggal, akhirnya kami singgah ke rumah supir dan pak supir tadi meminjamkan motornya untuk Callu pakai ke rumah tempatnya bermalam.Tak lama, Callu pun kembali, akhirnya kami benar-benar kembali ke Makassar. Di perjalanan pulang, tak lupa kami menghubungi Bapak Kapolsek Sinjai Barat dan juga Risma memberitahukan bahwa kami sudah diperjalanan pulang ke Makassar.Kami hanya tertawa mengingat pengalaman baru yang kami lalui.Pukul 10.14 kami pun sampai di kampus UNM Parangtambung dan disambut hangat oleh teman-teman yang sudah menunggu kami dari kemarin.
Hari Pertama: Jumat, 19 Desember 2014
Pelepasan team “Observasi Lingkungan Hidup dan Seni Budaya” pada pukul 11.35 WITA oleh Ayahanda Wakil Dekan III FSD UNM di pelataran parkir kampus UNM Parangtambung. Pada sambutannya, Ayahanda berpesan kepada tim agar tetap menjaga nama baik almamater dimana pun kami berada. Setelah seremonial yang sederhana itu, Ayahanda Wakil Dekan III memberi kami uang jalan yang lumayan membantu keuangan tim kami yang hanya beranggotakan dua orang.
Setelah Shalat Jum’at, kami melakukan final check di Realist Art House. Yakin tak ada lagi yang kurang, kami pun berjalan kaki ke depan gerbang kampus. Pada saat kami berjalan tentunya semua mata tertuju kepada kami, mungkin dalam benak mereka terpikir hendak kemana gerangan.Membawa carrier yang besar lengkap dengan sepatu medannya.Kami hanya tersenyum ketika ada yang memanggil kami. Sekitar 15 menit menunggu di depan gerbang, akhirnya mobil yang akan kami tumpangi ke Desa Tassoso pun datang. Seorang lelaki paruh baya memakai songko haji duduk disamping supir.“Wahh..ada Pak Haji” kata Mifta. Setelah memasukkan barang bawaan, kami foto bersama sekali lagi bersama teman-teman yang mengantar kami sampai depan gerbang.
Pukul 14.47 tim OLH-SB pun berangkat. Alunan musik dangdut dan lagu daerah dengan suara yang besar menemani perjalanan kami.Pak Haji hanya mendengarkan musik tanpa ekspresi. Kami singgah di depan terminal Malengkeri untuk membeli beberapa ransum yang masih kurang, Sekitar 10 menit singgah, kami melanjutkan perjalanan. Kami bertiga duduk di kursi tengah mobil. Tak lupa kami ber-selfie ria untuk mengabadikan moment yang tak akan pernah terulang ini. Pukul 16.08 WITA, Aco berhenti di warung dekat jembatan (
40’12’’ BT |
15’06’’ LS) untuk beristirahat sejenak.Sekitar 15 menit kami beristirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan.Kembali alunan musik dangdut dan lagu khas Bugis-Makassar menjadi teman perjalanan kami.Tak terasa pukul 17.02 WITA kami sudah ada Malino (
51’11’’ BT |
15’09’’ LS) menandakan kami sudah sekitar setengah perjalan ke Tassoso.




Hari sudah mulai gelap, kami memasuki perbatasan Gowa-Sinjai sekitar pukul 17.58 WITA. Sekitar lima menit kemudian kami sampai di Polsek Sinjai Barat (
59’57’’ BT |
12’27’’ LS) untuk mengantarkan surat pemberitahuan kami. Tampak Pak Kapolsek sedang duduk santai ditemani para bawahannya.Mereka juga berpesan agar hati-hati dalam perjalanan dan berkabar apabila sudah pulang nanti.Pak Kapolsek juga merekomendasikan kami untuk bermalam di rumah Kepala Dusun.Kami sempat mengajak beliau foto bersama namun beliau menolak dengan alasan tidak sedang mengenakan seragam.


Pukul 18.16 kami melanjutkan kembali perjalanan. Aco mengantar Pak Haji yang duduk di depan ke rumahnya. Hawa dingin mulai terasa, kabut semakin tebal.Sambil memperhatikan GPS yang menandakan kami sudah dekat dengan Desa Tassoso.Kami bertanya kepada beberapa warga yang kami temui di perjalanan.Warga memberitahu kalau ciri-ciri rumahnya itu berwarna kuning dan ada mobil truknya.
Hujan mulai turun, hawa dingin semakin terasa.Pukul 19.43 WITA akhirnya kami sampai juga di rumah Kepala Dusun Tassoso (
58’31’’ BT |
17’06’’ LS).Setelah membayar mobil, kami pun masuk setelah dipersilahkan.Kami memberikan surat pemberitahuan kami yang telah kami persiapkan sebelumnya. Cukup lama bercerita dengan Pak Dusun, akhirnya beliau memperbolehkan kami bermalam di rumahnya dan mempersilahkan kami beristirahat di kamar tamu.Setelah beres-beres, kami segera memasak teh dan makan malam.Setelah kami semua kenyang, kami beristirahat untuk mempersiapkan perjalanan keesokan harinya.


Hari Kedua: Sabtu, 20 Desember 2014
Suara merdu orang mengaji, samar-samar terdengar ada tiga suara berbeda, dua orang sepertinya adalah anak kecil yang baru belajar.Seorang lagi suara wanita yang mengajarinya.Kami terbangun mendengar suara yang menyejukkan hati tersebut.Penasaran, Callu mengintip, ternyata benar ada seorang wanita yang mengajar mengaji dua orang anak kecil.Callu hanya tersenyum lalu berbisik kepada Mifta dan Kak Adam (pendamping) yang masih di tempat tidur.Lalu kami cuci muka.Callu melihat jam, waktu menunjukkan pukul 05.58 WITA.
Kami bertiga menuju dapur, hawa dingin sangat terasa pagi itu.Tampak Pak Dusun sedang menonton TV bersama Istri dan tetangga-tetangganya.Kami duduk di dekat perapian, menghangat diri dari dinginnya hawa pagi itu. Callu memasak air, Mifta mengambil susu coklat. Kami duduk sambil mengisap rokok masing-masing dan meminum susu yang masih hangat. Nikmatnya pagi ini.Cukup lama bercerita, Callu kembali menyalakan kompor untuk membuat lauk sarapan pagi itu.Mie instan yang sudah ditiriskan dicampur dengan dua butir telur.Tampak Mifta protes, mungkin sudah kelaparan.“Sabaaarr, Liat tommi sebentar iya. Saya Chef pagi ini nah”, kata Callu. Minyak sudah panas, Callu memasukkan adonan tadi ke wajan.Sambil diratakan, ditaburkan bawang goreng diatasnya.Akhirnya hidangan selesai.Martelaso namanya (martabak telur Tassoso).Kami menyantapnya dengan lahap.Setelah kenyang, kami mandi bergantian dan packing untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah semua sudah siap, kami keluar untuk resection, sebelum berangkat kami sempat berfoto-foto dengan “sang guru mengaji” karena Pak Dusun sedang ke kebunnya.Ya, gadis itu anak Pak Dusun. Risma Namanya. Pukul 08.15 WITA, setelah berdoa kami pun berjalan.
Kami mulai memasuki hutan, trek sangat menanjak beberapa warga yang bertani sempat menyapa kami dan berpesan agar berhati-hati.Kami terus mengikuti string line pada jalur.Hingga akhirnya kami sampai di tempat yang tampaknya bukan jalur.Tetapi asih ada string line.Sepertinya ini jalur sapi.Kami pun memanjati jalur yang rapat dengan ilalang itu hingga kami tembus lagi ke jalur umum.Kami melewati genangan air yang memang masih sedikit sampahnya.Mungkin karena masih sedikit orang yang melewati jalur ini.Kami kembali kebingungan karena mengikuti string line yang mengarahkan kami ke tempat yang penuh dengan pohon tumbang dan rapat yang ilalang yang sangat tinggi.Seperti sarang ular besar yang biasa terlihat di televisi.
Kami kembali dan mengikuti aliran air sebelumnya tidak lama kemudian pukul 09.14 WITA kami akhirnya sampai di Pos 2 (
58’09’’ BT |
17’27’’ LS).Pos ini berada di pinggir sungai.Kami pun mengisi air di container dan sekitar 10 menit beristirahat dan berfoto-foto kami kembali mmelanjutkan perjalanan.Sepertinya kami sudah memasuki hutan yang rapat.Pacet mulai banyak menempel di sepatu kami. Jalanan yang becek dan menanjak tampaknya akan menemani kami hingga ke Puncak Bawakaraeng. Tak terasa kami sudah sampai di Pos 3 (
58’03’’ BT |
17’27’’ LS).




Waktu menunjukkan pukul 09.33 WITA.Candaan selama perjalanan lumayan menutupi lelah karena trek semakin menanjak. Tak ada “bonus” landai panjang yang kami dapati. Trek hanya mendaki mendaki. Mungkin memang dari namanya, Jalur Tassoso, Tassoso dalam bahasa setempat berarti menurun.Ya memang menurun, tetapi kalau dari atas.Kalau dari bawah berarti yang ada menanjak terus.Sekitar setengah jam berjalan, waktu menunjukkan pukul 09.52 WITA kami sudah sampai di pos 4 (
57’51’’ BT |
17’28’’ LS).Sekitar sepuluh menit kami beristirahat, tampak langit mulai gelap.Trek yang dilalui masih sama. Penuh dengan pacet, medan yang menanjak dan licin. Bertambah lagi pohon tumbang menutupi jalur mengharuskan kami harus merayap melewatinya.Kira-kira ada hampir empat kali kami mendapati pohon tumbang di jalur yang kami lalui.


Setengah jam kami berjalan, pukul 10.27 WITA kami sampai di Pos 5 (
57’39’’ BT |
17’34’’ LS). Kami beristirahat sekitar lima menit, tapi awan semakin gelap mengharuskan kami harus bergerak cepat. Beberapa saat berjalan, Callu memutar lagu di handphonenya, berharap dapat sedikit memberi semangat pada perjalanan kami. Hujan rintik mulai turun, tapi fisik yang sudah lelah tidak bisa membuat perjalanan akan cepat, pohon tumbang juga masih ada di jalur pendakian. Mengharuskan kami untuk merayap lagi. Pendamping tim, Kak Adam terus memberi semangat untuk berjalan. Callu tampaknya sudah sangat lelah, beberapa langkah berjalan, Ia berhenti lagi, berjalan lagi, berhenti lagi.


Beberapa lama berjalan dengan trek yang menanjak kami sampai di Pos 6 (
57’20’’ BT |
17’46’’ LS), Pos ini berada ditempat yang menanjak.Mungkin saking tidak adanya lagi tempat landau untuk menentukan pos, maka pos 6 ini berada ditempat yang menanjak.Lima menit beristirahat, 11.12 WITA kami kembali melanjutkan perjalanan.Lagi-lagi diperjalanan pohon tumbang sangat banyak.Dan ini membuat perjalanan kami menjadi lambat. Tak ada jalan landai sama sekali di perjalanan ke Pos 7 ini, semuanya menanjak. Hujan yang keras membuat jalanan menjadi sangat licin, pacet mulai menyerang.Darah yang diakibatkannya membuat celana yang kami kenakan menjadi kotor karena darah. Sekitar satu jam berjalan, kami melihat ada tempat landai diatas sana. Sepertinya itu pos 7.Dan akhirnya benar itu adalah Pos 7 (
57’10’’ BT |
18’02’’ LS).




Hujan sedikit reda. Kami cukup lama beristirahat di pos 7, rokok pun kami bakar. Asap yang dikeluarkan begitu banyak, bercampur dengan kabut yang mulai turun. Rokok habis, kami kembali berjalan.Hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras. Callu yang berjalan paling belakang membuat perjalanan tim menjadi lambat. Jalan beberapa langkah, dan beristirahat kembali. Mungkin Ia memang sudah sangat lelah. Tetapi hujan sangat deras membuat kami tidak mungkin berteduh.Sampai pada akhirnhya, Callu yang ditunggu-tunggu tidak datang juga, akhirnya Mifta dan Kak Adam kembali dan mendapati Callu sedang duduk dan mengatur nafasnya.Akhirnya Kak Adam memutuskan untuk mencari tempat untuk beristirahat sejenak.Pohon besar yang tumbang menjadi pilihan beristirahat untuk berteduh dari guyuran hujan yang keras. Kak Adam mengambil wafer yang ada di carrier, memberikan kepada Callu berharap semoga tenaganya bisa kembali pulih. Kami bertiga menyantap wafer itu dengan lahap di tempat Istirahat yang sederhana itu (
57’03’’ BT |
18’13’’ LS).


Setelah hujan sedikit reda akhirnya kami melanjutkan kembali perrjalanan.Callu menjadi leader sekarang.Tampaknya, dia hanya lelah karena lapar. Dan seketika itu pula Ia menjadi sangat bersemangat. Lagu di handphonenya lumayan memberi semangat.Sekitar 15 menit berjalan, akhirnya kami sampai di Pos 8 (
56’59’’ BT |
18’27’’ LS).Ada bekas tungku pembakaran, menandakan tempat ini biasa diapakai untuk camp.Kabut semakin tebal dan hawa dingin semakin menusuk tulang karena pakaian kami yang basah.Setelah menghabiskan rokok sebatang, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 9 atau Camp pertama.Jalur semakin menanjak dan rapat.Sekitar satu jam perjalanan dengan trek yang makin menanjak, akhirnya kami sampai di pertigaan jalur Bawakaraeng-Lembanna dan Bawakaraeng-Tasssoso. Kami bertemu dengan Berlin (AMU-VI-MM) bersama dengan Pangrango Mahorpala FIK UNM.Lima menit bercerita, akhirnya kami langsung menuju ke Pos 9 untuk mendirikan camp.


Kami pun sampai di Pos 9 (
56’46’’ BT |
18’42’’ LS)Tampak sudah ada tiga tenda yang berdiri. Kami pun memilih tempat camp yang berada dibagian atas. Callu dan Kak Adam mendirikan tenda dan Mifta mengambil air.Setelah camp berdiri, kami mengganti pakaian kami dan memasak air untuk membuat teh hangat.Rokok yang kami bakar pun menjadi sangat nikmat.Lalu nasi yang sudah kami persiapkan dari Tassoso langsung diolah menjadi nasi goreng. Telur dadar menemani nasi goring itu, harum aroma telur dan nasi itu membuat seorang yang camp di bawah kami keluar dan mengintip. Tampaknya Ia juga lapar. Kami pun menyantap hidangan istimewa ini dengan lahap. Lalu kami bercerita lepas setelah meminum air yang segar dan tembakau gulung. Lelah bercerita, kami pun beristirahat dan tidur.


Hari Ketiga: Minggu, 21 Desember 2014
Pagi itu masih gerimis, terasa tenda masih lembab karena hujan deras semalam. Pukul 07.23 WITA kami bertiga sudah bangun dan keluar tenda untuk menghirup udara segar. Pakaian yang kami jemur tampak masih basah.Kemudian Callu dan Mifta bertugas mengambil air dan mencuci nesting untuk sarapan kami.Menu kami pagi ini adalah nasi goreng, teh hangat dan biskuit menjadi pengganjal perut untuk sementara sambil menunggu nasi goreng.Setelah sarapan, kami bertiga naik ke puncak.Di perjalanan, Callu singgah karena tidak tahan untuk buang air besar.Kak Adam dan Mifta pun duluan ke puncak.Pukul 09.06 WITA kami pun sampai di puncak Bawakaraeng 2776 mdpl (
56’38’’ BT |
18’56’’ LS).


Di puncak kami berfoto dan membuat kopi.Suasana di puncak saat itu sedang berkabut, namun sesekali muncul matahari.Kami juga bertemu dengan pendaki dari UIN, kami berfoto bersama dan saling bertukar cerita.Puas berfoto, kami pun kembali ke camp untuk melanjutkan perjalanan.Sesampainya di camp, kami langsung packing dan bersiap untuk berangkat.Pukul 11.34 WITA, setelah berdoa kami kembali berjalan. Trek menuju pos 8 Bawakaraeng ini sangat licin, beberapa kali Mifta jatuh terpeleset.
Jalur yang menurun membuat kaki kami harus ekstra hati-hati menapakkan kaki agar tidak terpeleset.Tak terasa pukul 12.00 WITA kami sampai di pos 8 (
56’36’’ BT |
18’30’’ LS).Disini kami hanya singgah untuk mengisi air dan langsung melanjutkan perjalanan ke pos 7.Hujan mulai turun dengan deras. Awalnya trek yang kami lalui hanya penurunan, tetapi lama kelamaan jalur kembali menanjak. Hujan sangat deras.Sesekali kami berpapasan dengan pendaki yang hendak ke puncak Bawakaraeng.Hawa dingin semakin menusuk ke tulang saat kami memasuki daerah bekas kebakaran.Kerasnya suara Guntur membuat bulu kuduk merinding.Akhirnya kami sampai di Pos 7 (
56’13’’ BT |
17’52’’ LS). Karena hujan masih sangat keras, kami berteduh beratapkan spanduk observasi kami sambil memakan wafer untuk mengganjal perut yang lapar karena dingin. Hujan agak mereda, kami pun melanjutkan perjalanan.Jalur yang kami lalui ini adalah jalur bekas kebakaran, tetapi untuk saja masih ada string line untuk memandu kami melalui jalur ini.Jalur sangat curam, licin dan menurun.Perlu tumpuan yang baik agar tidak keseleo.




Vegetasi yang rapat membuat carrier yang kami kenakan beberapa kali tersangkut.Tampak Lembah Ramma terlihat dari kejauhan.Di jalur ini tampak pemandangan yang sangat menakjubkan.Di tempat ini terlihat dua buah air terjun yang terpisah dan bersambung menjadi satu.Callu yang memegang GPS menamakan tempat melihat air terjun itu “Tebing Waterfall” (
55’33’’ BT |
17’38’’ LS).Waktu sudah menunjukkan pukul 15.31 WITA.Kami harus berjalan lebih cepat agar sampai sebelum gelap.Ramma sudah terlihat dibawah, kami melewati pinggiran jurang. Jika jatuh, mustahil akan hidup. Tinggi jurang ini sekitar 300 meter.Pukul 15.59 kami kembali beristirahat untuk merokok dan meregangkan otot yang kencang.Karena ditempat ini persediaan air sudah menipis, Callu menamakan tempat kami beristirahat ini Jurang Akadah (
55’21’’ BT |
17’33’’ LS).




Setelah cukup lama beristirahat, kami kembali berjalan.Melihat Ramma yang sudah ada dibawah membuat kami makin semangat untuk berjalan.Tetapi kami juga berjalan dengan ekstra hati-hati karena melewati pinggiran jurang. Akhirnya kami pun sampai di Tallung (
54’33’’ BT |
17’37’’ LS) pada pukul 17.31 WITA. Jalur yang berbatu dan menurun membuat lutut menjadi goyang dan kuku kaki ada yang terlepas.Mifta berjalan sangat lambat, mungkin Ia sudah sangat ingin beristirahat. Hari sudah semakin gelap, Kak Adam sudah menunggu, tak lama kemudian Callu datang, berselang Mifta sekitar 10 menit setelahnya. Akhirnya kami sepakat untuk Camp di tempat ini (
54’53’’ BT |
17’46’’ LS) karena hari sudah gelap.




Kami segera mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam.Menu makanan kami malam ini adalah sarden.Dengan lahap kami menyantap semua makanan yang disiapkan mala mini. Setelah makan, kami duduk dan saling berbagi cerita sambil minum air yang segar dan menghisap tembakau dibawah terangnya langit malam itu. Callu menciptakan puisi tentang perjalanan kami yang sangat mendebarkan.Kami bergantian bertukar cerita tentang cinta, topik yang selalu hangat dimana pun itu.Suara tawa kami sangat keras malam itu. Tapi jarak tenda lain yang jauh membuat kami tidak terlalu memperdulikannya. Lelah bercerita, akhirnya kami masuk ke tenda dan bersiap untuk tidur agar bisa melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Hari Keempat: Senin, 22 Desember 2014
Waktu menunjukkan pukul 07.06 WITA, hari yang cerah pagi ini.Kami kaget ketika melihat keluar tenda ternyata makanan kami yang disimpan diluar digigiti oleh sapi.Pagi itu kami berfoto-foto, menyiapkan sarapan.Menu kami pagi itu adalah sarden dan kornet sapi.Sangat bergizi untuk perjalanan terkahir ini.Setelah sarapan, kami mandi di aliran sungai kecil. Airnya sangat segar. Kami mandi seolah-olah baru melihat air setelah beberapa minggu tidak pernah melihatnya, kami sempat mengabadikan momen-momen itu dengan foto dan video.Setelah cukup lama bermain air.Kami menggganti pakaian dengan pakaian jalan kami.
Tata Mandong (seorang pria paruh baya yang memang mendedikasikan dirinya untuk menjaga kelestarian lingkungan di daerah Lembah Ramma) datang kepada kami.Kami pun memberikannya rokok, kami bertanya tentang jalur untuk ke Panaikang melewati aliran sungai.Tata menjelaskan bahwa jalur ke Panaikang hanya lewat atas (Tallung) dan tidak ada jalur jika menyusuri sungai.Tetapi kami tetap pada tugas kami, yakni membuka jalur ke Panaikang lewat aliran sungai.Setelah packing, kami berdoa bersama dan memberikan ransum yang masih ada kepada Tata Mandong.
Pukul 10.03 WITA, kami berangkat. Kami melewati jalur ke danau tempat Milad ke V tahun 2013 lalu. Masih sama dengan hari sebelumnya, jalur yang kami lewati kali ini menurun. Rasa pegal di paha masih terasa.Apalagi pada saat menurun, membuat langkah kami menjadi sedikit lambat.Terlihat dari jauh, pohon yang kami tanam setahun lalu di samping danau sudah ada yang tumbuh, tapi ada juga yang dimakan sapi. Sebelum menyusuri sungai, kami sempat berfoto bersama dan membakar rokok karena medan sudah lumayan landai. Kami menyusuri pinggiran sungai yang berbatu.Batu ini merupakan sisa dari bekas terjadinya longsor pada 2004 lalu.Sekitar pukul 12.12 WITA kami istirahat di tepi sungai (
53’58’’ BT |
18’19’’ LS), view di tempat ini sangatlah indah karena air jernih yang mengalir diselah bebatuan dan banyaknya air terjun kecil. Kami memasak air dan membuat susu coklat hangat. Kami juga mengambil foto bergantian.


Setelah merasa cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan.Kami mendapati sungai besar.Arusnya sangat deras.Beberapa kali kami mondar-mandir untuk mencari jalan ke seberang, tetapi arus sungai terlalu deras. Hujan mulai turun, ketakutan akan datangnya air bah tiba-tiba membuat kami menjadi gelisah. Akhirnya kami menyebrang menggunakan webbing.Mifta menyebrang duluan tanpa menggunakan carrier.Lalu Callu menyusul membawa dua buah carrier.Kemudian Kak Adam terakhir.Kami kembali berjalan, hujan semakin keras.Jalan yang kami lalui memang landai.Tetapi batu-batu yang banyak beserta pasir yang masuk ke dalam sepatu membuat jalan begitu lambat.Tampak dari kejauhan, bukit yang mungkin disebelahnya adalah pemukiman.
Halusinasi mulai melanda kami, batu besar yang ada disaping sungai, sempat terlihat seperti rumah.Tak ada sampah sedikit pun yang kami lalui, menandakan tidak ada orang yang pernah melewati jalur ini. Sekitar satu jam kami berjalan, bukit yang kami kira disebelahnya adalah pemukiman ternyata tidak ada. Callu yang berjalan paling depan hanya tersenyum kecut melihat apa yang ada di depannya. Tebing, sungai dengan arus yang sangat deras.Saking derasnya, batu sebesar bola basket pun dengan mudah dibawanya. Ya, jalan ini buntu (
53’22’’ BT |
17’50’’ LS), benar apa kata Tata Mandong, tidak ada jalan ke Panaikang lewat sungai. Yang ada hanya patahan.Kami pun kembali.Dengan kecewa, kami berjalan lesu.Kak Adam yang masih terlihat tegar berusaha mencari jalan untuk dinaiki. Namun nihil, tak ada jalur sama sekali.


Waktu menunjukkan pukul 15.11 WITA.Sudah tak ada ransum, semua sudah diberikan ke Tata sewaktu di Ramma. Mifta sempat terpikir untuk camp ditempat itu, perasaan capek, kecewa, putus asa dan marah bercampur menjadi satu. Callu yang tadinya berjalan paling depan, sekarang berada jauh dibelakang. Semangat kami sudah hilang.Ya, kami memang hilang.Lambat berjalan,Callu duduk disebuah batu.Yang teringat langsung hanyalah Tuhan.“Tolong kami Tuhan” kata Callu dalam hati.Callu sedikit mengingat materi survival yang didapatkan pada saat Diklatsar. Don’t Panic!!.Ya benar, kami tidak boleh panik dan perhatikan alam sekitar.Callu melihat ada tanjakan longsor yang tampaknya bisa dipanjati.
Callu memanggil Mifta dan Kak Adam yang berjalan cukup jauh di depan. Mereka pun kembali.Callu berkata, “Kak, bisa kayaknya dimanjati itu sana”, sambil menunjuk kearah longsor yang diatasnya ada pohon.”Daripada jalan ki kembali ke Ramma kak, jauhnya itu.Malam pki pasti baru sampai, tidak ada mi juga ransum.Coba mi saja dulu kak.Pasti ada jalur itu diatas” tambah Callu. “Bisaji memang kayaknya” , jawab Kak Adam. Akhirnya kami berjalan menuju longsoran itu. Kak Adam memanjatinya duluan, diikuti Mifta, Callu memilih tempat manjat yang lain. Dengan menggunakan carrier yang berat dan basah karena hujan, kami memanjati longsor itu, setiap batu yang kami pegang lepas karena licin.Siku, lutut bahkan dagu kami pakai untuk memanjat.Sambil melangkahkan kaki satu demi satu, Callu hanya bisa berkata dalam hati “tunjukkan kami jalan yang benar Tuhan.Kami tidak mau jatuh dan mati disini”.Semangat untuk bertahan hidup menjadi modal kami memanjati longsoran itu.
Akhirnya Kak Adam berhasil sampai duluan. “Woii ada jalur anak-anak, semangatko !” , teriak Kak Adam. Callu yang sudah sangat dekatsepertinya sudah tidak sanggup, tapi Ia kembali memotivasi dirinya. “Kak, Webbing ta dulu”, teriak Callu.Mifta pun demikian. Kak Adam, mintaka webbing ta kak”. Kak Adam lebih memilih memberikan webbing kepada Mifta yang mengikuti jalur panjatnya. Callu yang sudah sangat dekat hanya bisa mencengkram tanah yang Ia panjati karena kemiringannya sepertinya sudah hampir 80 derajat. Akhirnya Callu juga berhasil sampai diatas.Tak lama kemudian, Mifta yang ditarik menggunakan webbing juga sudah sampai.Kami semua bersyukur dan tidak membayangkan kekuatan darimana yang datang kepada kami sehingga bisa memanjati longsor.
Kami pun mengikuti jalan setapak yang ada.Sepertinya ini adalah kebun warga.Kami menemukan jalan yang bisa dilalui motor.Kami tidak tahu sekarang berada di daerah mana.Cukup lama kami berjalan, kami melihat bungkus permen relaxa, pertanda di dekat sini mengkin ada warung.Dan berarti ada perkampungan.Tak lama, kami melihat sapi yang diikat pertanda ini hewan ternak warga, dan akhirnya kami melihat jalan yang dibeton.Mungkin Tuhan memang masih sayang kepada kami.Setelah melihat rumah, kami lalu mendatangi rumah tersebut (
53’15’’ BT |
18’10’’ LS) dan akhirnya kami diberitahu bahwa daerah itu bernama Lengkese.Kami mengeceknya di peta. Dan target kami sebelumnya, Panaikang, ternyata memang masih jauh. Kami diberi kopi hangat oleh Rudi,sang pemilik rumah. Kami pun bercerita kenapa kami bisa sampai disitu.Lalu Mifta mencari tahu dimana ada warung untuk membeli makanan.Ternyata disamping warung itu adalah Pos Pengamatan Longsor Gunung Bawakaraeng, dan tempat itu biasa ditempati nginap oleh Mahasiswa-mahasiswa yang datang.Kami sepakat untuk pergi ke rumah samping Posko Pengamatan itu.


Setelah berpamitan dengan Rudi, kami pun berjalan.Jaraknya tidak jauh, hanya beberapa puluh meter saja dari rumah Rudi.Kami pun diberi sarung oleh Ibu pemilik rumah itu, kami segera mengganti pakaian kami yang masih basah karena hujan dan lumpur.Setelah ganti pakaian, kami masuk ke rumah itu (
53’13’’ BT |
18’09’’ LS).Waktu menunjukkan pukul 16.51 WITA, Mie instan yang kami pesan akhirnya datang.Kami menyantapnya dengan lahap. Kami kembali bercerita tentang perjalanan kami kepada sang tuan rumah.


Kami bertanya tentang mobil ke Makassar, katanya kalau mobil biasanya ada tapi masih harus jalan sekitar satu jam lagi. Tetapi sang tuan rumah menyarankan kami untuk bermalam saja di rumahnya, dan besok pagi baru pulang ke Makassar. Tak mau terulang lagi dengan tidak mendengar perkataan orang tua seperti perkataan Tata yang mengakatan tidak ada jalur lewat sungai, akhirnya kami sepakat untuk bermalam dan baru pulang ke Makassar keesokan harinya.Setelah itu kami naik ke atas gedung pengamatan disamping, melihat jalur yang tadi dilewati.Sepertinya memang tidak ada jalur. Kami pun berfoto-foto seolah olah tak ada kejadian apapun yang menimpa kami. Hari mulai gelap, kami diberikan santap malam yang sederhana oleh Ibu tuan rumah. Sehabis makan, kami pun tidur lelap karena sangat capek dan lelah setelah berjalan seharian.
Hari Kelima: Selasa, 23 Desember 2014
Waktu menunjukkan pukul 06.12 WITA, Callu sudah terbangun.Mifta dan Kak Adam masih tertidur lelap, Callu mengambil kamera dan naik ke gedung pengamatan untuk berfoto-foto. Sekitar lima belas menit diatas, Callu kembali ke rumah dan membangunkan Mifta dan Kak Adam, kami pun langsung packing dan mandi bergantian. Tak lama kemudian, mobil yang akan kami tumpangi ke Makassar sudah datang. Kami pun berpamitan ke Bapak dan Ibu yang kami tempati bermalam rumahnya.Di perjalanan, ternyata handphone Callu tertinggal, akhirnya kami singgah ke rumah supir dan pak supir tadi meminjamkan motornya untuk Callu pakai ke rumah tempatnya bermalam.Tak lama, Callu pun kembali, akhirnya kami benar-benar kembali ke Makassar.
Di perjalanan pulang, tak lupa kami menghubungi Bapak Kapolsek Sinjai Barat dan juga Risma memberitahukan bahwa kami sudah diperjalanan pulang ke Makassar.Kami hanya tertawa mengingat pengalaman baru yang kami lalui.Pukul 10.14 kami pun sampai di kampus UNM Parangtambung dan disambut hangat oleh teman-teman yang sudah menunggu kami dari kemarin.
TERIMA KASIH ...!!!
0 komentar:
Posting Komentar