PEMANFATAN HUTAN PADA JALUR PENDAKIAN PUNCAK LATIMOJONG (TOMAUPA) TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA TIBUSSAN KECAMATAN LATIMOJONG KABUPATEN LUWU
Oleh :
FAJAR AMBO DALLE
MIFTA FARID
MUIHAMMAD SYAHRUL FADHIL
IRMAL TARMIL
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam, sejak dimulainya pembangunan secara bertahap telah diletakkan landasan yang kokoh sebagai prinsip dasar untuk dipedomani bagi pembangunan hutan lestari. Terjaminnya kondisi & pelestarian hutan di suatu negara, sangat ditentukan oleh sistem dan kaidah pemanfaatan hutan secara bijaksana (Zain, 1997).
Berdasarkan manfaatnya, hutan diklasifikasikan menjadi dua, yakni Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HHBK mencakup beberapa manfaat, dan salah satunya adalah jasa lingkungan. Salah satu manfaat jasa lingkungan yang dapat kita rasakan/nikmati adalah keindahan alam.
Hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat Desa Tibussan berupa manfaat hasil hutan langsung (tangible) baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan adalah benda-benda hayati yang berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) selain tumbuhan dan satwa liar yang dipungut dari hutan negara.
Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu sudah sejak lama dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tibussan untuk digunakan sebagai bahan makanan, bahan rumah dan lain-lain. Berikut berbagai hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat Desa Tibussan :
Hasil Hutan Kayu (HHK)
Hasil hutan kayu adalah hasil hutan yang diperoleh dari tegakan hutan / pohon berupa bahan-bahan berkayu / selulosa yang dapat langsung dimanfaatkan atau diolah kembali untuk menghasilkan bahan jadi atau siap pakai. Pada Desa Tibussan, jenis kayu utama yang masyarakat manfaatkan yaitu Suren (Toona Sureni) dan Jati (Tectona grandis) sedangkan jenis kayu lainnya seperti manga (Mangifera Indica) dan nangka (Arthocarpus Integra).

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Hayati
Paradigma baru pembangunan kehutanan saat ini melihat kawasan hutan secara utuh sebagai sebuah sistem sumberdaya multi fungsi dan memuat banyak kepentingan. Pandangan ‘hasil hutan hanya sebatas kayu’ sudah tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga menjadi komponen penting dalam ekosistem kawasan. Paradigma baru ini menurut Sumadiwangsa dan Setyawan (2001) makin menyadarkan kita akan posisi strategis HHBK dalam pembangunan kehutanan. Di mana, hasil hutan ini merupakan salah satu sumber daya kawasan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling menyentuh kehidupan masyarakat sekitar hutan. Hasil-hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan masyarakat Desa Tibussan antara lain :
Bambu
Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Nama lain dari bambu adalah buluh, aur, dan eru. Di dunia ini bambu merupakan salah satu tanaman dengan pertumbuhan paling cepat karena memiliki sistem rhizoma-dependen unik, (Wikipedia).
Bambu merupakan tanaman masyarakat Desa Tibussan yang terpenting dan memiliki banyak kegunaan untuk kehidupan sehari-hari, baik sebatas kebutuhan rumah tangga maupun sebagai sumber perdagangan.
Aren (Arenga Pinnata)
Aren merupakan tumbuhan berbiji tertutup dimana biji buahnya terbungkus daging buah. Pohon aren banyak terdapat hampir di seluruh wilayah hutan kabupaten Luwu. Semua bagian pohon aren dapat dimanfaatkan, mulai dari akar (untuk obat tradisional), batang (untuk berbagai macam peralatan dan bangunan), daun muda/janur untuk pembungkus kertas rokok. Hasil produksinya juga dapat dimanfaatkan, misalnya air nira untuk bahan pembuatan gula merah dan cuka, sedangkan pati atau tepung dalam batang untuk bahan pembuatan berbagai macam makanan.
Rotan (Calamus rotang)
Rotan adalah hasil hutan non kayu yang dapat memberi konstribusi kepada masyarakat Desa Tibussan dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Rotan adalah tanaman pemanjat dari famili Palmae. Rotan tumbuh liar di sekitar Pegunungan Latimojong dan ada yang sengaja ditanam.
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Non Hayati & Hewani
Hasil hutan Bukan Kayu bukan hanya meliputi tumbuhan saja, menurut UU 41 adalah hasil hutan bukan kayu juga termasuk pada hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan hewan hutan serta benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih dan sehat serta barang lain tetapi tidak termasuk barang tambang.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) non hayati yang dimanfaatkan masyarakat Desa Tibussan adalah air. Air merupakan sumber kehidupan masyarakat Desa Tibussan, tidak hanya dikonsumsi saja tetapi air yang dihasilkan dari pegunungan Latimojong merupakan sumber energi listrik bagi masyarakat Desa Tibussan. Sedangkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) Hewani yang dimanfaatkan masyarakat Desa Tibussan adalah hewan Anoa. Pemanfaatan jenis HHBK hewani sudah terbatas semenjak ada peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Luwu tentang pemburuan Anoa dikarenakan habitatnya yang terancam punah.
Menurut masyarakat Desa Tibussan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) hewani, Anoa pada zaman dahulunya hanya sebagai penghasil lemak dan protein bagi kehidupan masyarakat Desa Tibussan, dan terkadang dijual jikalau ada yang ingin mencoba daging dan manfaat proteinnya.
Bagaimana pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat desa Tibussan kecamatan Latimojong kabupaten Luwu pada jalur pendakian puncak Latimojong (Tomaupa)?
A. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK)
Masyarakat Desa Tibussan menganggap penting hasil hutan kayu (suren) dikarenakan memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat. Jenis utama yang masyarakat manfaatkan yaitu Kayu Suren dan Kayu Jati sedangkan jenis kayu lainnya seperti mangga (Mangifera Indica) dan nangka (Arthocarpus Integra) adalah jenis yang ditanam untuk diambil buahnya, bukan kayunya. Namun, ketika pohon buah-buahan ini tidak produktif lagi, maka masyarakat Desa Tibussan menebangnya untuk mendapatkan tambahan pendapatan dan dijual dalam bentuk kayu.
Masyarakat Desa Tibussan memanen kayu Suren dan kayu Jati hanya untuk keperluan individu yaitu membangun rumah, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Desa untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar saja. Nilai ekonomi hutan menjadi penopang kehidupan sehingga memunculkan ketergantungan masyarakat Desa Tibussan terhadap hutan.
B. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Hayati
Bambu
Bambu adalah tanaman serbaguna dan menempati tempat yang istimewah dalam kehidupan masyarakat Desa Tibussan. Dengan penggunaan bambu diharapkan pegunaan kayu menjadi berkurang yang akhirnya dapat mengurangi penebangan hutan. Pada umumnya bambu yang digunakan oleh masyarakat Desa Tibussan adalah bambu hijau (Gigantochloa Apus) dan bambu talang (Schizostachyum Brachdladum). Pemanfaatan Bambu yang dilakukan masyarakat Desa Tibussan adalah untuk bahan bangunan, alat-alat rumah tangga, dan kerajinan (anyaman) pembuatan keranjang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pemanfaatan bambu yang digunakan masyarakat Desa Tibussan umumnya diambil dalam kawasan hutan. Ada dua jenis bambu yang sering digunakan masyarakat Desa Tibussan dalam pemanfaatan bahan dasar kerajinan (anyaman) yaitu bambu hijau (Gigantochloa Apus) dan bambu talang (Schizostachyum Brachdladum). Jenis bambu yang digunakan untuk bahan dasar kerajinan (anyaman) pembuatan keranjang adalah bambu hijau (Gigantochloa Apus) dan bahan dasar pembuatan tikar dan plapon rumah adalah bambu talang (Schizostachyum Brachdladum). Nilai eknomi tertinggi dari 2 jenis bambu ini adalah bambu talang sedangkan nilai ekonomi yang terendah adalah bambu hijau.Tanaman bambu merupakan tanaman yang mudah untuk dibudidayakan dan memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi, akan tetapi sayangnya potensi yang tinggi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Aren (Arenga Pinnata)
Aren (Arenga) Pinnata pada Desa Tibussan merupakan tumbuhan yang biasanya tumbuh dengan sendirinya melalui persemaiannya hewani hutan. Masyarakat memanfaatakn tanaman Aren, mulai dari air nira, buah, dan batangnya. Air Nira yang dihasilkan biasanya dibuat gula merah oleh para penyadap aren di Desa Tibussan.
Pada sebuah wawancara dengan Ibu Fatmawati, seorang Guru SDN 633 Tibussan, pada tanggal 29 Maret 2015, mengatakan pada awalnya masyarakat Desa Tibussan hanya membuat gula merah untuk dikonsumsi sendiri, namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat Desa Tibussan mengkomersialisasikan gula merah tersebut dengan menjual dengan harga Rp. 35.000,- / paket, guna memberikan pendapatan rumah tangga mereka.
Rotan
Sumberdaya hayati yang diperoleh masyarakat Desa Tibussan daridalam hutan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori sesuai: (a) produktif, yaitu yang diperjual belikan di pasar. dan (b) konsumtif, yaitu yang dikonsumsi sendiri atau tidak dijual.Berdasarkan hasil penelitian bahwa masyarakat Desa Tibussan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) rotan hanya sebagai konsumtif saja, dikarenakan minimnya tanaman rotan yang tumbuh di Desa Tibussan. Tanaman Rotan di Kabupaten Luwu mayoritas tumbuh pada kawasan hutan saja (Ngakan, P.O : 8), sehingga masyarakat yang ingin memanfaatkan rotan harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkannya. Pekerjaan memungut rotan merupakan pekerjaan berat yang membutuhkan banyak tenaga.
Pada hasil penelitian pada Desa Tibussan hasil hutan bukan kayu (HHBK) rotan dikelompokkan sebagai kategori konsumtif, Masyarakat Desa Tibussan memungut rotan hanya pada daerah pegunungan Latimojong.Tanaman rotan merupakan tanaman liar yang tidak akan pernah habis sekalipun sudah diambil sejak zaman nenek moyang (Ngakan, P.O : 16) dikarenakan rotan tumbuh dalam rumoun kecil dan setiap rumpun terdiri dari beberapa individu anakan dan individu masak tebang. Namun, pada kawasan hutan yang semakin dekat dengan perkampungan akan semakin berkurang.
C. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Non Hayati & Hewani
Air (Sumber Energi Pembangkit Listrik Mikrohidro)
Pengelolaan Hutan di Kecamatan Latimojong telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengelola usaha pemanfaatan kawasan hutan yaitu mengembangkan agroforestry berbasis tanaman kopi di bawah tegakan hutan lindung, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti bambu, aren, rotan, serta memanfaatkan jasa lingkungan berupa jasa air dan aliran air.
Pemanfaatan jasa lingkungan berupa pemanfaatan aliran air telah lama dikelola oleh masyarakat Desa Tibussan. Aliran sungai Salu Siwa yang mengalir dari pegunungan Latimojong telah diusahakan oleh masyarakat sebagai sumber energi pembangkit listrik Mikrohidro.Salah seorang masyarakat Desa Tibussan bernama Bapak Sahidin yang berasal dari Kecamatan Suli Barat mengenalkan dan mengelola kincir air sebagai alat pembangkit energi listrik Mikrohidro

Alat kincir air digunakan masyarakat Desa Tibussan sudah cukup lama hingga saat ini masih digunakan. Pemerintah kabupaten Luwu memberikan bantuan alat kincir air untuk seluruh masyarakat desa yang tidak menggunakan layanan listrik pada umumnya digunakan masyarakat kota.
Pada saat ini, masyarakat dari luar wilayah administrasi Desa Tibussan, juga meminta instalasi air dari Hutan Desa Tibussan juga dapat disambungkan ke rumah-rumah mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan melalui pemanfaatan air telah menjadi unit bisnis yang prospektif dalam pengelolaan Hutan Desa Tibussan.
Air irigasi yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Tibussan bersumber dari Sungai Salu Siwa dimana dimana catchment areanya adalah pada areal kerja Hutan Desa Tibussan. Masyarakat Desa Tibussan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi atas keberlanjutan ketersediaan air irigasi dari Salu Siwa, yaitu terdapat Petani Sawah di desa ini, selain dari petani kopi dan cengkeh mata pencaharian utama juga adalah petani sawah.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa masyarakat Desa Tibussan telah memanfaatkan ruang tumbuh di bawah tegakan hutan alam untuk kehidupan sehari – harinya, meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk.Oleh karena itu, pengelolaan Hutan Desa Tibussan memiliki nilai ekonomi strategis bagi masyarakat Desa Tibussan dan Kabupaten Luwu umumnya.
Fauna (Anoa)
Secara taksonomi Anoa masuk dalam kerbau, Bubalus, namun bentuk tubuhnya menyerupai sapi kerdil. Dikenal dua spesies anoa yaitu anoa dataran rendah Bubalus Depressicornis dan anoa dataran tinggi (pegunungan) Bubalus Quarlesi (Solikhah .A : 2014). Perkembangan distribusi Anoa di Sulawesi Selatan khususnya daerah pegunungan Latimojong menurut Badan Penelitian Perkembangan Kehutanan Sulawesi Selatan bahwa saat ini Anoa dataran rendah Bubalus Depressicornis dan anoa dataran tinggi (pegunungan) Bubalus Quarles sudah tidak memiliki habitat yang khas lagi, kadangkala Anoa dataran rendah ditemukan juga di dataran tinggi dan sebaliknya Anoa dataran tinggi juga sering dijumpai di daerah – daerah dataran rendah (Kehutanan : 17).
Pegunungan Latimojong telah lama dikenal sebagai tempat hidup yang cukup baik bagi anoa. Selain itu, sebagai daerah pegunungan dengan variasi ketinggian, tempat tersebut juga menjadi habitat alami yang cukup baik bagi beberapa jenis satwa lainnya seperti babi hutan (Sus Celebensis) dan babi rusa (Babyrousa Babyrousa).
Pada sebuah wawancara dengan Bapak Andas, seorang tokoh masyarakat setempat, pada tanggal 29 Maret 2015 mengatakan bahwa Anoa pada pegunungan Latimojong adalah hewan yang dahulunya merupakan kebutuhan sehari – hari masyarakat untuk dikonsumsi sebagai makanan. Semenjak ada peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Luwu tentang hewan yang habitatnya terancam punah mereka tidak lagi berburu Anoa. Khasiat daging Anoa dijadikan sebagai Obat Asma / Sesak Nafas, sedangkan bulu dari Anoa tersebut dijadikan sebagai pembantu tumbuhan cengkeh agar tumbuh subur. Masyarakat Desa Tibussan mengatakan bahwa berburu Anoa masih dilakukan jika ada keperluan khusus, misalnya masyarakat dari luar Desa Tibussan yang perlu akan khasiat daging Anoa.
Dari hasil diatas peneliti bisa mengambil kesimpulan bahwa Pegunungan Latimojong merupakan habitat penting bagi anoa untuk mempertahankan sub populasi bagian selatan. Gangguan berupa aktivitas manusia berupa perburuan atau perubahan kawasan hutan merupakan hal yang patut di perhatikan karena hal ini menjadi ancaman terbesar bagi keberadaan anoa.
